Saturday, July 28, 2012

Artikel Ekonomi : Perbandingan Cadangan Devisa China, India dan Indonesia


Artikel Ekonomi. Pesatnya pertumbuhan ekonomi China tidak lepas dari melimpahnya cadangan devisa yang dimiliki sebagai kapital yang akan terus memacu pembangunan di negeri tirai bambu tersebut. Berikut kita bahas Perbandingan Cadangan Devisa China, India, dan Indonesia untuk mengetahui seberapa besar kekuatan kapital masing-masing negara yang kini tingkat pertumbuhan ekonominya sangat tinggi di Asia.

China terus membuktikan diri sebagai raksasa ekonomi baru di Asia dengan membukukan cadangan devisa sebesar USD1,9056 triliun pada akhir September 2008. Bank Sentral China melalui jaringan internet Bank Rakyat China menyatakan, jumlah tersebut meningkat sebesar 32,9% dari tahun sebelumnya dan 25% lebih tinggi dari pada cadangan devisa di akhir 2007.

Meski demikian, pernyataan Bank Sentral China menyebutkan, pertumbuhan dari tahun ke tahun (year on year/yoy) masih dinilai rendah jika dibandingkan kuartal I yang mencapai kenaikan hingga 40%. Hal ini sebagai akibat perlambatan ekonomi global yang terjadi sejak sebulan lalu.

Hingga saat ini China masih berada di peringkat pertama yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Berdasarkan data yang dikutip dari Reuters, China semakin menjauh dari Jepang yang berada di urutan ke-2. Sementara cadangan devisa Indonesia per akhir Agustus 2008 hanya USD58,356 miliar.

Cadangan devisa dunia pada akhir kuartal II tercatat menanjak hingga USD4,4 triliun, dari sebelumnya hanya USD1,5 triliun di awal dekade. Krisis finansial Amerika Serikat (AS) diprediksi akan memperkuat cengkeraman China pada perekonomian Amerika.

Hal ini terjadi karena Beijing kemungkinan akan banyak membeli sekuritas pemerintah AS dengan memanfaatkan cadangan devisanya yang kian menggelembung. China telah menguasai sekuritas AS senilai USD1,3 triliun atau sekitar 70% dari USD1,8 triliun cadangan devisa mereka.
Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan politisi AS bahwa penguasaan China yang begitu besar akan menjadikan negara itu sebagai ancaman utama bagi AS. Kendati demikian, para pakar mengatakan China tak mempunyai pilihan lain selain terus membeli aset dengan dominasi dolar.

Hal ini dilakukan untuk mencegah pengurangan pada nilai asetnya, meski mereka mengetahui saat ini AS menghadapi risiko terperosok ke arah perekonomian yang terburuk sejak depresi besar pada dekade 1930-an.
"Mereka membutuhkan aset yang likuid dan aman, padahal aset yang demikian tak banyak di bagian dunia lainnya," ujar mantan Kepala Divisi China pada Dana Moneter Internasional (IMF) Eswar Prasad.

Menurut dia, jika China menghentikan pengiriman uangnya ke AS, dolar AS akan mengalami depresiasi atau defisit dengan cepat. Kemudian, dengan defisit neraca berjalan saat ini, tak ada satu pihak pun bersedia membiayai defisit tersebut sehingga dolar akan merosot dan mengikis nilai modal aset mereka.

Selama ini, kata dia, ekonomi AS dikelola melalui defisit neraca berjalan yang besar dan itu bisa memperburuk kondisi ekonomi, terkait rencana Washington menyelamatkan Wall Street dari gejolak ekonomi saat ini.

Sementara itu, Direktur pelaksana Merrill Lynch China Liu Erhfei mengatakan, China akan mampu mempertahankan pertumbuhan yang wajar pada atau di atas 8%. Menurut dia, China perlu menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan dan menjaga inflasi tetap terkendali untuk mengurangi dampak krisis keuangan global.

Hingga saat ini dia mengakui China belum mengalami gejolak seperti yang dihadapi perekonomian negara maju. Liu menambahkan, China memiliki "tugas sederhana", yakni mengatasi inflasi, menstabilkan pertumbuhan, dan meningkatkan permintaan domestik.


Cadangan devisa (foreign exchange reserves) adalah simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan otoritas moneter. Pada saat ini China memang memiliki cadangan devisa yang paling banyak. Jepang yang notabene adalah negara paling maju di Asia saja hanya memiliki cadangan devisa sebesar US $ 996,7 miliar disusul Rusia (US $ 582,2 miliar), India (US $ 295,3 miliar), Korsel (US $ 243,3 miliar). China jauh mengungguli cadangan devisa Amerika Serikat (US $ 72,5 miliar) dan Inggris (US $ 72,1 miliar).

Artikel Ekonomi : Subprime Mortgage


Artikel Ekonomi. Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai krisis finansial pada tahun 2008 yang awalnya disebabkan oleh  Subprime Mortgage di Amerika Serikat lalu menyebar ke Eropa dan beberapa negara yang memiliki hubungan perdagangan, finansial, dan investasi dengan Negara Paman Sam ini.

 Pendahuluan

Krisis finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia
secara drastis pada tahun 2008 dan diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan
akan meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi
dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia.

Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi. Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.

Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia meskipun telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif pelemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran, neraca sektor riil dan APBN.



Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian
global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat.

Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang-utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.

Berbagai kondisi tersebut di atas diperkirakan akan berpengaruh signifikan terhadap
perlambatan pertumbuhan ekonomi, penyediaan kesempatan kerja, dan upaya pengurangan kemiskinan. Kecenderungan penurunan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 4,0 – 5,0 persen dengan titik estimasi paling optimis pada 4,7 persen (lebih rendah dari titik estimasi awal sebesar 5,0 persen) terutama disebabkan (1) perlambatan investasi yang diperkirakan mencapai 5,9 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 7,5 persen, antara lain berasal dari penanaman modal asing (PMA) dan investasi portofolio; dan (2) kinerja ekspor yang melambat dari perkiraan sebelumnya 7,8 persen menjadi paling tinggi 5,1 persen .

Data tiga bulan terakhir menunjukkan ekspor melemah sangat cepat hingga pertumbuhan diperkirakan akan stagnan (nol persen) atau bahkan negatif (-3,0 persen). Penurunan ekspor tersebut juga akan diikuti oleh penurunan produksi, sehingga pada akhirnya rasionalisasi tenaga kerja sulit dihindari.

Dengan berbagai perkembangan tersebut, peningkatan pengangguran tenaga kerja dan jumlah masyarakat miskin merupakan dampak berikutnya yang akan segera dialami oleh perekonomian nasional akibat krisis perekonomian global. Saat ini, fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) telah terjadi pada industri-industri yang berorientasi ekspor, menyusul kemudian rencana PHK pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan kertas, dan rencana merumahkan tenaga kerja pada industri perkayuan dan industry perkebunan.
Selain itu, resesi global juga akan mengakibatkan PHK atas sebagian dari tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, dan pemulangan mereka ke Indonesia. Hal ini tidak saja akan menambah berat tekanan pada pasar tenaga kerja di Indonesia, tetapi juga akan mengurangi pendapatan devisa dari penghasilan mereka di luar negeri (remittances).

Definisi Subprime Mortgage

Sub prime mortgage adalah kredit perumahan yang diberikan oleh perusahaan mortgage broker di Amerika Serikat dengan bunga yang rendah di awal tahunnya (2-5 tahun), namun di tahun berikutnya, bisa naik sampai 1 1/2 kali lipat. Dan apabila terjadi macet, kredit ini akan dijual kepada bank, dan bank yang akan menyelesaikan kredit macet tersebut.

Karena Bank Sentral Amerika yang sering disebut The Fed, menaikkan suku bunga berkali-kali, hingga mencapai 5,25%, akhirnya kredit di sektor perumahan dari sub prime mortgage ini akhirnya mengalami yang kemacetan di luar kebiasaan, dan pada saat yang sama bank membutuhkan likuiditas yang cukup banyak untuk menutupi dan menyelesaikan kredit tersebut.

Dan di sisi lain investor di sektor ini banyak yang menarik dana untuk mendapatkan likuiditas, dalam bentuk dollar Amerika di berbagai portofolio-nya, termasuk di Indonesia, baik dalam bentuk saham, maupun mata uang. Hal inilah yang akhirnya ikut menyeret pasar modal dan pasar uang Indonesia mengalami kesulitan likuiditas.

Terdapat kecenderungan bahwa orang Amerika lebih senang mengambil kredit rumah dengan menggunakan sub prime mortgage, karena mereka merasa bunganya lebih kecil. Walaupun efek yang dirasakan kemudian akan terus berlipat karena terus mengalami sub prime yang ketika diakumulasikan akan mengelabui sistem keuangan Amerika Serikat yang nota bene dampaknya akan berpengaruh terhadap keuangan dunia.



DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN      PENDAPATAN NEGARA TAHUN 2009

Situasi perekonomian sejak pertengahan 2007 diwarnai oleh berbagai faktor eksternal yang penuh ketidakpastian (uncertainty) dan sulit diprediksikan (unpredictable). Kehancuran pasar uang global telah berdampak pada sektor riil dimana banyak industry besar terancam bangkrut atau setidak-tidaknya terjadi penurunan kapasitas produksi.

Akibatnya, ancaman akan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia akan sulit
dihindari. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian dan memicu terjadinya krisis ekonomi. Banyak
negara yang terpaksa harus meminta bantuan lembaga keuangan internasional untuk menyediakan likuiditas guna menyelamatkan ekonominya dari kehancuran, seperti Turki, Pakistan, Islandia, dan negara-negara Eropa Timur lainnya.

Krisis finansial global yang terus berlangsung saat ini menyebabkan macetnya sistem keuangan dunia sehingga menyebabkan merosotnya aktivitas ekonomi dan perdagangan dunia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan menurunnya pertumbuhan volume perdagangan dunia telah terjadi sejak pertengahan tahun 2007.

Volume perdagangan dunia dalam tahun 2009 terus merosot ditunjukkan dengan proyeksi IMF yang mengalami beberapa kali revisi volume perdagangan dunia pada tahun 2009 dari 6,9 persen yaitu proyeksi yang dibuat pada bulan Januari 2008 menjadi 2,1 persen pada bulan November 2008 dan bahkan pada bulan Januari 2009 proyeksi pertumbuhan volume perdagangan dunia direvisi kembali menjadi negatif 2,8 persen.

Hal ini tentunya akan memberikan dampak langsung yang signifikan bagi negara-negara yang perekonomiannya ditopang oleh ekspor seperti Cina, Jepang, Korea, dan Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Melihat perkembangan yang makin memburuk pada tirwulan terakhir ini, seluruh lembaga keuangan dan ekonomi dunia seperti IMF, OECD, Bank Dunia dan ADB melakukan revisi ke bawah tingkat pertumbuhan perekonomian dunia.

IMF misalnya, menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2009 diperkirakan masih tertekan sehingga perkiraannya direvisi menjadi 2,2 persen pada bulan November 2008, dari sebelumnya 3,0 persen pada bulan Oktober 2008.Namun pada Januari 2009, IMF kembali melakukan revisi ke bawah atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 0,5 persen.

Merosotnya perekonomian dunia ini tentunya akan sangat berpengaruh pada perkembangan perekonomian Indonesia. Antisipasi yang dilakukan oleh Pemerintah
dalam menyikapi kondisi ini adalah melakukan beberapa penyesuaian besaran asumsi makro. 

Artikel Ekonomi & Bisnis : Price Regulation of PT.KA Case Study

Price Regulation of PT. Kereta Api Case Study
Download filenya disini (Unduh Sekarang)

Artikel Ekonomi & Bisnis : Pengaruh Globalisasi terhadap Perekonomian Daerah


Artikel Ekonomi & Bisnis. Berikut ini akan kita bahas mengenai Pengaruh Globalisasi terhadap Perekonomian Daerah, sebagai suatu peluang dan tantangan dalam membangun daerah agar tidak terbuai oleh kondisi lokal yang cenderung statis lalu tiba-tiba terkejut oleh gelombang globalisasi yang datang dengan tiba-tiba. 
                                                                                                                               
Pendahuluan
Perdebatkan tentang dampak globalisasi terhadap perekonomian terutama pada negara-negara yang sedang berkembang merupakan hal yang tidak pernah berakhir. Secara singkat akan kita kupas apakah sebenarnya globalisasi itu, bagaimana sejarahnya, siapa saja sebenarnya yang sangat berperan dan aktif mendorong terjadinya globalisasi, apa saja sebenarnya baik buruknya bagi kita serta bagaimana pengaruhnya terhadap perekonomian regional dan lokal.

Apakah globalisasi itu?
Pengertian globalisasi sendiri dapat diinterpretasikan berbagai macam. Globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses ‘global network’ dan interaksinya dalam suatu pembangunan ekonomi dan kebijakan-kebijakan lainnya yang terkait didalamnya (Potter 2001), sedangkan Burgman (2003) menginterpretasikan globalisasi sebagai suatu yang berhubungan dengan global neo-libaralisme dan pasar bebas. Sosiolog lainnya seperti Chang (2003) mendefinisikannya sebagai keterlibatan ‘transnational corporations’ dan saling ketergantungan antar negara dalam pembangunan ekonomi. Dilain pihak Held dkk (dalam Gray dan Lawrence 2003: 17) menerjemahkannya sebagai proses pelebaran dan percepatan dari saling keterkaitan yang membentuk suatu jejaring dunia yang mencakup semua aspek kehidupan sosial, dari kebudayaan sampai dengan kejahatan, dan dari keuangan sampai spiritual.
Jadi globalisasi boleh dikatakan sudah masuk ke semua sendi-sendi kehidupan manusia di seluruh dunia ini yang mencakup aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama.

Sejarah Globalisasi
Globalisasi muncul sejak tahun 1960 yaitu dengan ditandainya dengan perubahan ekonomi internasional dari Multinational Corporations (MNCs) menjadi Transnational Corporations (TNCs) (Hirst dan Thompson 1997). Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan ini antara lain adalah berakhirnya perang dunia kedua, meningkatnya migrasi antar negara, penyebaran tenaga kerja dari satu negara ke negara lain serta saling ketergantungan perdagangan dari satu negara ke negara lainnya. Dalam perkembangannya TNCs ini mempunyai peran yang sangat kuat dalam perdagangan international dan aktifitas ekonomi lainnya. Sebagai contoh TNCs memperkuat Foreign Direct Investment (FDI) (Chang 2003) serta menciptakan tenaga kerja yang murah dan ‘a one-world market system’ atau sistem satu pasar global (Gray dan Lawrence 2003). Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat cepat juga punya andil yang cukup besar dalam mendorong lahirnya globalisasi yang mengakibatkan perubahan ekonomi global. Menurut Teeple (2000) teknologi baru tersebut diciptakan oleh TNCs serta digunakan dalam aktifitas-aktifitas ekonominya. Dari sinilah awal dimulainya penyebaran neo-liberalisme ke negara-negara lainnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penyebaran dan meluasnya globalisasi. Faktor pertama adalah teknologi baru di bidang informasi teknologi, komunikasi dan transportasi. Era ini dimulai pada awal 1970-an ketika microelektronik, komputer dan bioteknologi ditemukan oleh para ahli (Teeple 2000). Sejak saat itu komunikasi antar lintas batas negara dapat dihubungkan dengan satelit dan kabel-kabel bawah laut yang fungsinya sebagai jejaring global (Rimmer dalam Rimmer ed. 1997: 96). Faktor kedua adalah peran pemerintah dalam mendukung kegiatan-kegiatan globalisasi. Baik di negara-negara maju maupun negara-negara yang sedang berkembang, Pemerintah mempunyai peran yang cukup penting dalam mendukung aktifitas globalisasi yaitu melalui perannya dalam pengambilan kebijakan-kebijakan ekonomi dan keuangan.
Faktor lainnya adalah munculnya TNCs serta adanya dukungan dari World Trade Organization (WTO) dan organisasi dunia lainnya seperti PBB, Bank Dunia dan IMF. Singh (1999) berpendapat bahwa salah satu fungsi Bank Dunia dan IMF adalah mendorong negara-negara di dunia untuk menerapkan deregulasi dan restrukturisasi kebijakan financialnya menjadi ekonomi liberal.

Apa saja yang dapat berpengaruh terhadap perekonomian lokal dan regional?
TNCs mempunyai peran yang sangat penting dalam mempengaruhi perekonomian suatu negara yang berdampak pada perekonomian lokal maupun regional. Ada beberapa alasan mengapa TNCs dapat berdampak pada perekonomian lokal dan regional. Pertama adalah TNCs dapat mengintervensi kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Yang kedua adalah TNCs lebih kaya dalam hal keuangan daripada yang dipunyai oleh negara-negara lainnya. Sebagai contoh pada tahun 1989, penjualan the US General Motor melebihi daripada Gross National Product (GNP) Belgia (Mulhearn dalam Bretherton dan Ponton ed. 1996: 185).
Faktor lainnya adalah TNCs mempunyai pengaruh yang kuat untuk menciptakan pasar dunia dengan menggunakan prinsip-prinsip liberal, seperti pasar bebas dan tenaga kerja yang murah. Disamping itu, dalam menjalankan bisnisnya TNCs didukung oleh WTO dan IMF dalam hal keuangan, hukum/peraturan dan hak-hak kepemilikan (O’Loughlin dkk dalam O’Loughlin dkk ed. 2004:6).
WTO juga mendukung dalam hal penetapan tarif barang dan jasa dalam kegiatan ekspor impor kepada pemerintah. Produksi dan distribusi barang ke seluruh penjuru dunia juga dibawah kontrolnya. Sehingga mau tidak mau pemerintah harus mengikuti regulasi dari WTO ini agar produknya bisa masuk ke pasaran dunia. Dalam perdagangan dunia, WTO juga membuat beberapa persyaratan kepada pemerintah, seperti deregulasi di bidang ekonomi yang mendukung privatisasi, penurunan tarif perdagangan dan pengurangan subsidi (Choo 2000: 31).
Organisasi dunia lain yang membantu pertumbuhan TNCs adalah Bank Dunia, dan PBB. Dalam hal ini Bank Dunia bersama-sama dengan IMF bertanggungjawab dalam hal keuangan TNCs sedangkan PBB mempunyai peran dalam menyediakan dukungan di bidang hukum dan perundangan serta mengendalikan anggotanya dalam kegiatan globalisasi (Gray dan Lawrence 2003).
Informasi teknologi dan transportasi modern adalah aspek lain yang dapat mempengaruhi perekonomian lokal dan regional. Hal ini disebabkan teknologi moderen tersebut dapat menciptakan efisiensi dalam industrialisasi. Pengelolaan keuangannya akan lebih efektif dan efisien disamping meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggannya (Pilbeam 2005: 12). Nasabah bank dapat mentranfer dan menarik uangnya melalui internet banking atau mesin ATM dengan sangat cepat. Masyarakat sekarang dengan mudah dapat mengelilingi dunia dalam waktu yang sangat singkat melalui penggunaan teknologi moderen pesawat terbang. Barang-barang juga dengan mudah dikirim baik melalui udara maupun laut. Sebuah perusahaan juga dapat dengan mudahnya memutuskan pindah dari satu negara ke negara lain (Vaile 2000), bahkan jasa, modal maupun paham atau ide atau ilmu pengetahuan dapat dengan mudah melintas batas ke suatu negara.
Revolusi di bidang teknologi pertanian seperti penemuan bioteknologi juga dapat merubah aktifitas dan perilaku masyarakat. Bioteknologi merubah pertanian tradisional menjadi pertanian moderen, pola konsumsi makan juga berubah, demikian pula dengan kebudayaan.


Apa dampak positif dan negatifnya?
Pertama mari kita lihat dampak negatifnya terhadap perekonomian lokal dan regional. Dengan adanya globalisasi kegiatan-kegiatan ekonomi beberapa wilayah khususnya di negara-negara yang sedang berkembang mengalami penurunan. Banyak industri kecil tidak dapat berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan besar yang tergabung dalam TNCs. Dengan karakteristiknya seperti penggunaan teknologi tinggi dan modal yang kuat, TNCs dapat membuat kebangkrutan pada banyak industri-industri lokal maupun regional. TNCs melalui penggunaan teknologi moderennya seperti komputer dan robot akan menurunkan kuantitas pekerjanya karena tenaganya dapat digantikan oleh komputer dan robot (Teeple 2000). Hal ini akan mengakibatkan pengangguran dalam jumlah yang cukup besar.
Pengaruh peran IMF dan Bank Dunia yang mendukung perluasan TNCs juga dapat berdampak pada kemiskinan yang menimpa banyak orang. Sebagai contoh, melalui penawaran restrukturisasi kebijakan ekonominya kepada pemerintah, seperti penurunan subsidi di sektor pertanian, mengakibatkan banyak petani-petani tradisional yang kehilangan pekerjaannya karena industrialisasi telah menggantikannya. Pertanian tradisional tidak dapat berkompetisi dengan pertanian moderen. Chossudovsky (1997: 101-107) menggunakan Somalia sebagai contoh. Meskipun secara geografis Somalia tergolong kering namun negara tersebut dapat menyediakan cukup pangan bagi rakyatnya sampai sekitar tahun 1970-an. Kemudian pada awal tahun 1980, IMF dan Bank Dunia mengintervensi kebijakan pertanian Somalia yang mengakibatkan timbulnya krisis dibidang ini. Hal ini membawa Somalia ke dalam krisis hutang yang luar biasa. Produk-produk pertanian menurun secara dramatis serta digantikan dengan produk-produk impor dengan harga yang sangat tinggi dari sebelumnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis di Somalia. Pertama adalah adanya Bank Dunia yang mempromosikan privatisasi di sektor pertanian, seperti kesehatan hewan ternak dan komersialisasi air atau pengairan (Chossudovsky 1997). Hal ini mungkin menjadi bagian dari agenda Bank Dunia yang mempromosikan TNCs melalui isu ketahanan pangan dan privatisasi. Friedman (1993) dikutip dalam Gray dan Lawrence (2003: 31-32) berpendapat bahwa privatisasi di industri pertanian berhubungan dengan tujuan TNCs yang menarik perhatian masyarakat melalui isu-isu kesehatan makanan.
Hal lainnya adalah IMF dapat mengendalikan pemerintah untuk membuat deregulasi di kebijakan makro ekonomi, seperti restrukturisasi belanja pemerintah (Chossudovsky 1997). Intervensi IMF dan Bank Dunia mungkin tidak hanya dapat menyebabkan dampak negatif pada perekonomian lokal dan regional Somalia namun juga dapat menyebabkan meluasnya kelaparan dan perubahan pola kehidupan masyarakatnya dari tradisional menjadi gaya hidup moderen. Keadaan ini juga terjadi di Zimbabwe dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya. Kejadian serupa juga dialami oleh Indonesia. Indonesia menghadapi krisis ekonomi diakhir tahun 1997.
Sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan kebijakan ekonomi liberal (Singh 1999: 86). Kemudian Indonesia melakukan deregulasi kebijakan ekonomi di akhir tahun 1980 dan awal 1990. Pada tanggal 23 Mei 1995, Indonesia telah menandatangani perjanjian dengan WTO, AFTA dan APEC tentang deregulasi ekonomi. Karena perjanjian tersebut, pada tanggal 4 Juni 1996 Indonesia memutuskan untuk melakukan kebijakan deregulasi yang diberi nama ’Paket deregulasi Juni 1996’ (Brown dalam Sheridan ed. 1998: 193). Paket ini berisi regulasi penurunan tarif, restrukturisasi prosedur ekspor-impor, dan mendorong kebijakan industrilialisasi pada bidang-bidang tertentu. Dengan adanya paket deregulasi ini Indonesia memasuki babak baru privatisasi dan liberalisasi dimana dalam babak ini kewenangan BUMN menjadi berkurang.
Pada awal 1997 ekonomi Indonesia masih tumbuh dengan baik. Namun pada bulan Juli 1997, Indonesia jatuh ke dalam krisis ekonomi yang sangat dalam. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis yaitu: Pertama, pasar uang dunia mengalami fluktuasi yang sangat tinggi dan mudah dipengaruhi oleh sentimen pasar bebas. (Kindleberger 1989, Radelet dan Sachs 1998 dikutip di Hill 2000: 273). Yang kedua adalah adanya faktor eksternal khususnya dari ekonomi OECD seperti meningkatnya aliran modal dan bunga yang rendah yang mendorong pasar modal dunia lebih berfluktuasi sejak tahun 1990 (Hill 2000: 273). Krisis yang dialami Indonesia ini menyebabkan banyaknya pengangguran, meningkatnya kemiskinan bahkan polemik politik.
Korea adalah contoh lainnya yang mendapat dampak dari globalisasi. Meskipun secara ekonomi Korea jatuh kedalam krisis pada tahun 1997 s/d 1998, pertumbuhan ekonominya telah meningkat selangkah demi selangkah dan akhirnya bisa bangkit dari krisis. Menurut Hogan dan Abiko (dalam Scott dan Wellons ed. 1996: 130) bahwa Korea memulai membuka pasar modalnya pada tahun 1988 dan sejak itu kemudian ekonomi Korea menjadi liberal. Situasi ini mempengaruhi peningkatan investasi ke Korea. Namun setelah itu Korea mengalami krisis moneter. Melalui program recoverynya IMF, akhirnya Korea dapat keluar dari krisis tersebut (Cargill 2005).
Australia sebagai negara yang telah maju juga terkena dampak negatif dari globalisasi terutama terjadi di wilayah pedesaan. Menurut Tonts dalam Pritchard dan Mc Manus ed. 2000) hal ini terjadi ketika Australia tidak dapat menghindari dampak dari perubahan struktur ekonomi dunia dimana TNCs secara cepat menggantikan peran pemerintah dalam mengkontrol aktifitas ekonominya. Perubahan ini mendorong pemerintah Australia untuk memulai restrukturisasi kebijakan makro ekonominya seperti pengurangan intervensi di bidang ekonomi dan proteksionisme (Walmsley 1993 dikutip dalam Tonts 2000). Kemudian pemerintah menerapkan 3 (tiga) kebijakan strategis (Tonts dalam Pritchard dan Mc Manus ed. 2000: 62): Pertama adalah privatisasi pelayanan umum dan infrastruktur. Kedua adalah Rasionalisasi pelayanan umum dan infrastruktur; dan yang ketiga adalah pendelegasian tanggung jawab untuk penyediaan jasa kepada pemerintah daerah (Furuseth, 1998; Tonts dan Jones, 1997).
Strategi-strategi tersebut berdampak pada banyak wilayah di pedesaan Australia. Sebagai contoh, privatisasi Bank Commonwealth menyebabkan bank tersebut malakukan pengurangan subsidi pada wilayah-wilayah pedesaan. Akibatnya para petani kesulitan untuk mendapatkan kredit untuk kegiatan usaha taninya (Tonts dalam Pritchard dan Mc Manus ed. 2000). Kemudian Gruen dkk (dalam Mc Leod dan Garnaut ed. 1999: 207) menyatakan bahwa pada tahun 1980, liberalisasi di bidang keuangan menyebabkan kompetisi pada sistem perbankkan yang menyebabkan penurunan pada sistem tersebut pada akhir tahun 1980 dan awal 1990. Privatisasi di bidang transportasi dan komunikasi juga menyebabkan masyarakat pedesaan kehilangan kesempatannya untuk berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Keputusan Western Australian Rail Services sebuah perusahaan kereta api di Western Australia, untuk memutus kontrak pemeliharaan dengan masyarakat pedesaan juga menyebabkan banyak pengangguran di wilayah tersebut karena perusahaan lebih suka untuk bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar dari Perth daripada dengan masyarakat setempat.
Namun demikian, globalisasi juga menyebabkan keuntungan dan manfaat bagi perekonomian lokal dan regional serta membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai contoh, dengan penerapan privatisasi dan liberalisasi, produk-produk pertanian Australia menghasilkan 3% dari total ekspor pertanian dunia (The Commonwealth of Australia 2003 dikutip dalam Core 2005: 3). Dalam bisnis telekomunikasi, Telstra sebuah perusahaan telekomunikasi Australia, juga menciptakan pasar yang kompetitif (Stoler 2005). Kondisi ini sangat menguntungkan bagi industri dan masyarakat karena harga yang kompetitif tersebut.
Bagaimana dengan Cina? Meskipun reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Cina menyebabkan kesenjangan pendapatan pada ekonomi regionalnya, reformasi ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Menurut Zhou (dalam Benewick dan Wingrove ed. 1995: 145), Cina mereformasi ekonominya khususnya di bidang pertanian, kemudian industri dan akhirnya pada seluruh sektor ekonominya pada akhir tahun 1970. Kemudian pada bulan Maret 1989, pemerintah Cina memperkenalkan ‘resolusi terhadap kebijakan industri’. Kebijakan ini sangat penting untuk pembangunan ekonomi karena mengatur kebijakan-kebijakan di sektor industri, seperti industri berteknologi moderen, bioteknologi, komunikasi dan transportasi. Hal ini menyebabkan ekonomi Cina telah menjadi global dan lebih terbuka terhadap dunia. Reformasi ini juga dapat meningkatkan Gross National Product (GNP) Cina sebesar 9% per tahun antara tahun 1979 dan 1992. Menurut Yang (1995), agenda ekonomi di Cina dapat merubah agenda perekonomian pada tingkat lokal dan pemerintah pusat. Pemerintah lebih mempunyai kemauan untuk bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan swasta dalam mendorong aktifitas pasar daripada sebelumnya. Perubahan ini juga menciptakan pembangunan perekonomian yang lebih baik tidak hanya untuk sektor swasta saja namun juga untuk wilayah pedesaan termasuk masyarakatnya. Oleh sebab itu the OECD (2005) menyebutkan bahwa ekonomi Cina cenderung stabil sekitar 9,5% dalam dua dekade terakhir ini. Pertumbuhan ini menyumbangkan penurunan tingkat kemiskinan dan meningkatkan pendapatan. Keterbukaan ekonomi Cina telah menjadikannya sebagai bagian dari perekonomian dunia. Situasi ini terjadi karena peran penting reformasi ekonomi di Cina. Sektor swasta dapat dengan bebas menanamkan modalnya di banyak sektor industri.

Kesimpulan
Banyak para ahli berpendapat bahwa pertumbuhan globalisasi termasuk TNCs telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan kebanyakan dari negara-negara di dunia tidak dapat menghindarinya khususnya untuk negara-negara yang sedang berkembang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerimanya (Chang 2003: 269). Dalam hal ini, organisasi-organisasi dunia seperti WTO, Bank Dunia dan IMF mempunyai peran yang penting dalam mendukung pertumbuhan globalisasi. Disamping itu, kebanyakan negara-negara mempunyai pola yang sama dalam proses globalisasi. Pertama, banyak negara yang memulainya dengan mereformasi ekonominya sebagai proses global pada tahun 1970. Setelah itu, pada tahun 1980 s/d 1990 pertumbuhan ekonominya menjadi sangat cepat dan baik. Selanjutnya pada tahun 1997 negara-negara tersebut mengalami krisis ekonomi. Beberapa negara seperti Indonesia dan Somalia yang tidak siap khususnya pada sumberdaya manusia (SDM)-nya untuk menerima globalisasi, telah jatuh kedalam krisis yang dalam dan berkepanjangan. Yang lainnya seperti Cina dan Korea meskipun mendapatkan dampak negatif di tengah perombakan ekonominya, akhirnya mereka dapat melewatinya dan tumbuh menjadi negara yang kuat perekonomiannya.

Penutup
Banyak pelajaran yang kita dapatkan apabila kita mempelajari globalisasi lebih mendalam. Salah satunya adalah kita akan lebih mengerti tentang perkembangan ekonomi, sosial dan politik dunia. Kita juga akan lebih paham mengapa Indonesia dapat jatuh ke dalam krisis dan terjerat hutang yang sangat besar sehingga sampai sekarang pengangguran dan krisis-krisis yang lainnya masih kita rasakan. Dengan memetik pelajaran tersebut kedepannya kita akan lebih mudah mengantisipasinya sehingga Indonesia tidak akan mengalami krisis yang sama. Sebenarnya yang kita perlukan dalam menghadapi globalisasi adalah kesiapan kualitas sumberdaya manusianya. Kita memerlukan kualitas SDM yang sangat tinggi baik dari kecerdasan intelektualnya (IQ), emosinya (EQ) maupun spiritualnya (SQ) sehingga kita dapat bersaing di arena global ini.

Sumber : Dari Berbagai Kepustakaan

Artikel Ekonomi & Bisnis : Kebijakan Publik dalam Eksternalitas

Artikel Ekonomi & Bisnis. Pada kesempatan ini akan kita bahas mengenai Kebijakan Publik dalam Eksternalitas, sebagai bahan pembelajaran penanganan eksternalitas dengan mengambil Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika Serikat (EPA) sebagai pembanding. 



PENDAHULUAN
Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah eksternalitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan.
Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan orang lain  tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.
Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan invividu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. 
Eksternalitas dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini :
1.      Dampak produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other producers)
2.      Dampak produsen terhadap konsumen (effects of producers on consumers)
3.      Dampak konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers on consumers)
4.      Dampak konsumen terhadap produsen (effects of consumers on producers)
Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan konsep ekternalitas dalam dua hal yang berbeda, yaitu :
1.      Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.
2.      Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain.  Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.
Dari dua konsep eketernalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik/rumit dalam ekonomi lingkungan.  Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.
SOLUSI PUBLIK TERHADAP EKSTERNALITAS
Dalam prakteknya, bukan hanya pemerintah saja yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas itu, melainkan juga pihak-pihak non pemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun perusahaan/organisasi kemasyarakatan. Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan penanggulangan eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber daya agar mendekati kondisi yang optimum secara sosial.  Pada pembahasan berikut kita akan menelaah solusi regulasi dan menciptakan pasar yang dilakukan oleh pemerintah dan pribadi dalam mengatasi persoalan eksternalitas.
Regulasi
Publik melalui pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar dari pada   keuntungan   pihak-pihak   yang   melakukannya, pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi. Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhanana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala  bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karana polusi merupakan efek sampingan tak terelakkan dari kegiatan industri.
Jadi,  yang  harus  diupayakan  bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga  ambang  tertentu,  sehingga  tidak  terlalu  merusak lingkungan namun tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk  menentukan  ambang  aman  tersebut,  kita  harus menghitung segala untung ruginya secara cermat.  Di Amerika Serikat,   Badan   Perlindungan   Lingkungan   Hidup   (EPA/Environmental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup.

Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam-macam.  Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang diperbolehkan  untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit di dapatkan.
Menciptakan Pasar
Sekarang, mari kita andaikan  EPA (Enviromental Protection Agency) mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari  setelah  peraturan  itu  diumumkan,  pimpinan  dua perusahaan, yang satu dan pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan.
Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya, misalnya satu ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi Rp. 5.000.000.- dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri ?



Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas posisi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.
Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dan satu perusahaan ke perusahaan lain.  Jika  kemudian  EPA  memang mengizinkan  hal  itu,  maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-kekuatan penawaran  dan  permintaan.  Perusahaan-perusahaan  yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih   murah   dibanding   melakukan   investasi   baru   untuk menurunkan   polusi   pabrik-pabrik   mereka.   Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual  haknya  berpolusi  karena  hal  itu  akan  memberinya pendapatan cuma-cuma.
Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini,  adalah  alokasi/pembagian  awal  izin  berpolusi  dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang  efisien  ekonomi.  Logika  yang  melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase.
Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apapun alokasi awal tersebut.
Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka. Dengan demikian, penerapan izin polusi, dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi.
Panel yang terdapat pada gambar dibawah ini menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi  artinya  perusahaan-perusahaan  akan  lebih  leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah. Selanjutnya pada gambar EPA secara  langsung  membatasi  kuantitas  polusi  dengan  cara menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat inelastis sempuma (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan menentukan harga polusi.
Dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik, misalkan saja EPA suatu ketika ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan yang dapat digunakan untuk konservasi alam akibat polusi tersebut.


KESIMPULAN
Kalau orang-orang tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah eksternalitas yang mereka hadapi, maka pemerintah perlu turun tangan. Namun adanya eksternalitas itu tidaklah menjadi alasan untuk sepenuhnya mencampakkan kekuatan pasar. Pemerintah dapat mengatasi persoalan eksternalitas itu tanpa  meninggalkan  pasar,  yakni  dengan  secara  langsung mewajibkan para pembuat keputusan (produsen atau konsumen) menanggung segenap biaya atau akibat yang ditimbulkan oleh prilaku atau tindakan mereka. Contohnya adalah melalui regulasi pembatasan polusi dan melalui  penerbitan  izin  polusi  terbatas yang dapat diperdagangkan.  Hanya perusahaan yang memiliki izin yang boleh menciptakan polusi, itupun dalam kadar yang terbatas. Penciptaan pasar melalui izin polusi merupakan cara yang lebih baik dan pada dasarnya merupakan  upaya  internalisasi  ekstenalitas  polusi.  Dalam prakteknya peran kelompok-kelompok pecinta lingkungan terus meningkat, sehingga kini mereka menjadi kekuatan utama dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kekuatan pasar jika dapat diarahkan secara tepat dapat menjadi resep yang paling mujarab untuk mengatasi kegagalan pasar.

Artikel Ekonomi : Money Laundering

Artikel Ekonomi. Maraknya kasus Money Laundering di Indonesia yang dilakukan oleh aparat maupun penjabat publik menjadi suatu modus yang efektif untuk mengelabui tindak pidana korupsi yang dilakukan. Berikut ini akan kita bahas secara lengkap mulai dari pengertian, reguasi, modus, dampak, hingga contoh kasus yang terjadi.

Pendahuluan
Masalah money laundering belakangan ini makin mendapatkan perhatian khusus dari dunia internasional. Perhatian demikian dipicu dengan semakin maraknya tindak kejahatan ini dari waktu ke waktu, sementara kebanyakan negara belum menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan yang harus diberantas. Mantan Direktur International Monetary Fund (IMF), Michel Camdessus pernah mengungkapkan bahwa diperkirakan volume dari money laundering adalah antara 2 hingga 5 persen GDP dunia.
Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp 5.671.250.000,-). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat.
Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak.
Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis ilegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk  membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak dan tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya.
Pengertian Money Laundering
Dalam Undang-Undang Pencucian Uang (UUPU) Tahun 2002, istilah money laundering disebut dengan pencucian uang. Kata money dalam istilah tersebut dapat diistilahkan sebagai dirty money, hot money, illegal money, atau illicit money. Prof. Remy Sjahdeini, pakar perbankan mengatakan bahwa tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai money laundering, karena berbagai pihak seperti institusi-institusi investigasi, kalangan pengusaha, negara-negara dan organisasi-organisasi lainnya memiliki definisi sendiri untuk itu (Sjahdeini, 1999).
Basle Committee, pada Tahun 1988 mengeluarkan suatu penyataan:
criminal and their associates use the financial system to make payment and transfers of funds from one account to another, to hide the source and beneficial ownership of money and to provide storage for bank-notes through a safe-deposit facility. This activities are commonly referred to as money laundering (IMF, 1994).
Menurut Neil Jensen, money laundering diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari kegiatan-kegiatan yang melawan hukum menjadi aset keuangan dan terlihat seolah- olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal (Neil Jensen et al., 1995).
Sarah N. Welling dalam Brent Fisse, David Eraser & Graeme Coss mengemukakan bahwa money laundering adalah:
the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and then disguises that income to make it appear legitimate” (Brent Fisse et al., 1992).
Pada dasarnya juga dikemukakan dalam buku “White Collar Crime Cases and Materials”, bahwa “money laundering is the concealment of existence, nature or illegal source or illicit funds in such a manner that the funds, will appear legitimate if discovered” (Pamela H. Bucy, 1992).
Sementara itu, kementrian Kehakiman Kanada merumuskan money laundering dengan mengatakan sebagai the conversion or transfer of property, knowing that such property is derived from criminal activity, for the purpose of concealing the illicit nature and origin of property from government authorities (Sjahdeini, Op. cit).
Prof. M. Giovanoli dari Bank for International Settlement membuat pengertian berupa: suatu proses dimana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah (Jurnal Hukum Bisnis, Vol.3, 1998). Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa money laundering adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana atau modal yang sah.
Regulasi
Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Bahkan praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat bius, Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara domestik namun juga antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit. Bahkan berkembangnya transaksi money laundering juga didukung fasilitas finansial dunia perbankan, seperti layanan nomor rekening istimewa atau  nostro account  yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun 1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan untuk  transaksi sehingga bank tidak mengetahui siapa nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksi.
Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga menyediakan fasilitas transfer uang antar negara, manajemen pengelolaan dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan pencucian uang. Perkembangan kejahatan kerah putih ini menimbulkan kekhawatiran internasional sebab dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian karena perputaran dana dalam jumlah besar yang terjadi secara cepat dari satu tempat ke tempat lain bahkan dari satu atau lebih negara ke satu atau lebih negara lain. Untuk itu maka masalah  money laundering mulai menjadi perhatian dan dibentuk beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat internasional maupun nasional :
a.   Amerika Serikat :
Memiliki berbagai macam peraturan perundang-undangan seperti The Bank Secrecy Act  (1970),  Money Laundering Central Act  (1986),  The Annunzio Wylie Act dan Money Laundering Suppression Act (1994).  Dalam Bank Secrecy Act, terdapat kewajiban lembaga keuangan untuk melaporkan setiap transaksi alat pembayaran yang melebihi $10,000 kepada Internal Revenue Service  yang dikenal dengan nama  Currency Transaction Report (CTR). Termasuk juga di dalamnya  Foreign Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah informasi keuangan yang harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan dengan tindakan pidana, perpajakan dan penuntutan. 
Setelahnya dalam Money Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan tindak pidana pencucian uang yakni :
(1)  terdapat transaksi finansial atau perpindahan internasional; dan
(2)   terdapat kegiatan melanggar hukum tertentu.
b.   Swiss, Thailand, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman dan Perancis 
Swiss memiliki The Money Laundering Act  (1998), Thailand memiliki The Money Laundering Prevention and Suppresion Act  (1999), Spanyol memiliki The Money Laundering Law (1993). Sementara untuk negara Italia, Inggris, Jerman dan Perancis memiliki Penal Code yang mengatur ketentuan anti money laundering
c.   Indonesia
Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. 
Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7 melahirkan  The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan mendorong negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention agar negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering.
Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan negara-negara penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat.
 Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule.  Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.
Walaupun secara de jure, BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah, namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara  tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. 
  Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang.
Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hukum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek  money laundering,  belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek  money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang.
Dampak Money Laundering 
1.      Dampak ekonomi mikro
a.  Cara perolehan uang yang ilegal mengganggu jalannya mekanisme pasar. Esensi sistem pasar adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi maupun atas barang-barang serta jasa-jasa yang digunakan untuk keperluan konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang ilegal telah menunjukkan tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak milik, pasar menjadi tidak efisien yang ditunjukkan dengan meningkatnya biaya transaksi pasar, adanya akses yang asimetris pada informasi pasar yang menyebabkan transaksi bersifat zero sum game dalam arti bahwa keuntungan suatu pihak dapat membawa kerugian bagi pihak lain. 
b.  Transaksi keuangan untuk melegalkan hasil perolehan uang yang ilegal membawa dampak penurunan produktifitas masyarakat.   
2.      Dampak ekonomi makro
a.  Tindak pidana pencucian uang menghindarkan kewajiban pembayaran pajak yang berarti mengurangi penerimaan negara.
b.  Apabila transaksi keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang ilegal ke luar negeri, maka akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri. selain itu juga mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan bank melakukan ekspansi kredit.
c.  Apabila negara memperoleh sejumlah uang ilegal dari luar negeri maka akan menambah kegoncangan stabilitas ekonomi makro. Terlebih untuk negara yang tidak memiliki cukup banyak instrumen moneter sehingga tidak mampu mensterilisasi dampak moneter pemasukan modal. Jika bank sentral membeli devisa yang masuk itu sebagai upaya untuk mempertahankan nilai tukar luar negeri mata uang nasionalnya, jumlah uang beredar akan bertambah dengan cepat dan tambahan jumlah uang beredar itu akan menyulut inflasi sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan internal perekonomian. Akan tetapi, jika bank sentral tidak membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang nasional yang menyebabkan berkurangnya insentif kegiatan ekspor. Pengurangan ini akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri.   
Tahapan Pencucian Uang
a.   Tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di beberapa tempat;
b.  Tahap pelapisan (layering),  merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan  pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat berupa transfer ke negara lain dalam bentuk mata uang asing, pembelian property, pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit yang ada di Bank A untuk meminjam uang di Bank B dan sebagainya.
c.   Tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal.
Modus Pencucian Uang 
Dalam perbuatan tindak pidana pencucian uang terdapat kategori beberapa modus yang didasarkan pada tipologinya:
a.  Tipologi dasar:
1). Modus orang ketiga, yaitu dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan perbuatan tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencurian uang, dengan menggunakan atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang berlainan. Ciri-cirinya adalah: orang ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya nama palsu dalam dokumen, orang ketiga biasanya menyadari ia dipergunakan, orang ketiga tersebut merupakan orang kepercayaan yang bisa dikendalikan, dan hubungannya dengan pelaku sangat dekat sehingga dapat berkomunikasi setiap saat. 
2). Modus topeng usaha sederhana, merupakan kelanjutan modus orang ketiga, dimana orang tersebut akan diperintahkan untuk mendirikan suatu bidang usaha dengan menggunakan kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana.
3). Modus perbankan sederhana, dapat merupakan kelanjutan modus pertama dan kedua, namun juga dapat berdiri sendiri. Disini terjadi perpindahan sistem transaksi tunai yang berubah dalam bentuk cek kontan, cek perjalanan, atau bentuk lain dalam deposito, tabungan yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi dalam pembelian aset-aset. Modus ini banyak meninggalkan jejak melalui dokumen rekening koran, cek, dan data-data lain yang mengarah pada nasabah itu, serta keluar masuknya dari proses transaksi baik yang menuju pada seseorang maupun pada aset-aset, atau pun pada pembayaran-pembayaran lain.
4). Modus kombinasi perbankan atau usaha, yang dilakukan oleh orang ketiga yang menguasai suatu usaha dengan memasukkan uang hasil kejahatan ke bank untuk kemudian ditukar dengan cek yang kemudian digunakan untuk pembelian aset atau pendirian usaha-usaha lain.
b.  Tipologi ekonomi:
1). Model smurfing, yakni pelaku menggunakan rekan-rekannya yang banyak untuk memecah sejumlah besar uang tunai dalam jumlah-jumlah kecil dibawah batas uang tunai sehingga bank tidak mencurigai kegiatan tersebut untuk kemudian uang tunai tersebut ditukarkan di bank dengan cek wisata atau cek kontan. Bentuk lain adalah dengan memasukkan dalam  rekening para  smurfing  di satu tempat pada suatu bank kemudian mengambil pada bank yang sama di kota yang berbeda atau disetorkan pada rekening-rekening pelaku pencucian uang di kota lain sehingga terkumpul dalam beberapa rekening pelaku pencucian uang. Rekening ini tidak langsung atas nama pelaku namun bisa menunjuk pada suatu perusahaan lain atau rekening lain yang disamarkan nama pemiliknya. 
2). Model perusahaan rangka, disebut demikian karena perusahaan ini sebenarnya tidak menjalankan kegiatan usaha apapun, melainkan dibentuk agar rekening perusahaannya dapat digunakan untuk memindahkan sesuatu atau uang. Perusahaan rangka dapat digunakan untuk penempatan  (placement)  dana sementara sebelum dipindah atau  digunakan lagi. Perusahaan rangka dapat terhubung satu dengan yang lain misal saham PT A dimiliki oleh PT B yang berada di daerah atau Negara lain, sementara saham PT B sebagian dimiliki oleh PT A, PT B, PT C, dan/atau PT D yang berada di daerah atau Negara lain 
3). Modus pinjaman kembali, adalah suatu variasi dari kombinasi modus perbankan dan modus usaha. Contohnya : pelaku pencucian uang menyerahkan uang hasil tindak pidana kepada A (orang ketiga), dan A memasukkan sebagian dana tersebut ke bank B dan sebagian dana juga didepositokan ke bank C. Selain itu A meminjam uang ke bank D. Dengan bunga deposito bank C, A kemudian membayar bunga dan pokok pinjamannya dari bank D. Dari segi jumlah memang terdapat kerugian karena harus membayar bunga pinjaman namun uang illegal tersebut telah berubah menjadi uang pinjaman yang bersih dengan dokumen yang lengkap.
4). Modus menyerupai MLM.
5). Modus under invoicing, yaitu modus untuk memasukkan uang hasil tindak pidana dalam pembelian suatu barang yang nilai jual barang tersebut sebenarnya lebih besar daripada yang dicantumkan dalam faktur.
6). Modus  over invoicing,  merupakan kebalikan dari modus  under invoicing.
7).  Modus over invoicing II, dimana sebenarnya tidak ada barang yang diperjualbelikan, yang ada hanya faktur-faktur yang dijadikan bukti pembelian (penjualan fiktif) sebab penjual dan pembeli sebenarnya adalah pelaku pencucian uang.
8). Modus pembelian kembali, dimana  pelaku menggunakan dana yang telah dicuci untuk membeli sesuatu yang telah dia miliki.
c.  Tipologi Information Technology (IT):
1).  Modus E-Bisnis, hampir sama dengan modus menyerupai MLM, namun menggunakan sarana internet.
2). Modus scanner merupakan tindak  pidana pencucian uang dengan predicate crime  berupa penipuan dan pemalsuan atas dokumen-dokumen transaksi keuangan.
d.  Tipologi hitek:
Suatu bentuk kejahatan terorganisir secara skema namun orang-orang kunci tidak saling mengenal, nilai uang relatif tidak besar tetapi bila dikumpulkan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Dikenal dengan nama modus cleaning dimana kejahatan ini biasanya dilakukan dengan menembus sistem database suatu bank.

Beberapa Kasus Money Laundering Di Indonesia
            Transaksi di Luar Profile Nasabah
AB seorang pegawai disalah satu instansi pemerintah, pada bulan April 2007, melakukan penyetoran dana ke rekeningnya di Bank Z dalam bentuk valuta asing senilai USD 500.000 (Rp 4,5 M). Dana tersebut selanjutnya dipindahkan ke beberapa rekening milik istri, teman kerja dan seorang wanita berprofesi pemandu lagu. Transaksi setoran valas tersebut dinilai tidak wajar dan tidak sesuai dengan profil AB selaku pegawai disalah satu instansi pemerintah. Bank Z melaporkan transaski tersebut kepada otoritas berwenang.
Berdasarkan analisis otoritas berwenang diindikasikan adanya unsur tindak pidana sehingga diteruskan kepada pihak penyidik untuk proses investigasi lebih lanjut. Sesuai hasil penyidikan diketahui bahwa dana yang disetorkan oleh AB ke rekeningnya di Bank Z berasal dari pemberian (gratifikasi) PT X karena AB telah membantu melakukan mark down (mengurangi) penerimaan pajak dari setoran PT X ke negara senilai Rp 70 M pada tahun 2007. Kasus ini telah dilimpahkan ke pengadilan dan Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis 8 (delapan) tahun penjara terhadap AB karena terbukti telah melakukan TPPU dari hasil gratifikasi.
  
7.2.   Penyuapan kepada pejabat melalui perusahaan pembiayaan
Mr. A seorang karyawan swasta mengajukan permohonan pembiayan leasing atas 1 (satu) unit mobil mewah senilai Rp 450 juta kepada perusahaan leasing (PT Z). Setelah disetujui, Mr. A menandatangani kontrak leasing yg diikuti dengan penerimaan sebuah unit mobil dari PT Z. Selanjutnya, cicilan selalu dibayarkan oleh Mr. A kepada PT Z. Pada kenyataannya, surat-surat kepemilikan mobil tersebut bukan atas nama Mr. A melainkan atas nama Mr. B. Dengan kata lain, penguasaan kepemilikan mobil mewah tersebut berada dibawah kendali Mr. B yang diidentifikasi sebagai seorang pejabat di instansi pemerintah. Dari hasil peggalian informasi oleh perusahaan leasing diketahui bahwa perusahaan Mr. A adalah pemenang tender dalam proses lelang proyek pengadaan barang dan jasa di kantor Mr. B. Berdasarkan hal tersebut, perusahaan leasing menyampaikan LTKM kepada PPATK.