Artikel Ekonomi & Bisnis. Berikut ini akan kita bahas mengenai Pengaruh Globalisasi terhadap Perekonomian Daerah, sebagai suatu peluang dan tantangan dalam membangun daerah agar tidak terbuai oleh kondisi lokal yang cenderung statis lalu tiba-tiba terkejut oleh gelombang globalisasi yang datang dengan tiba-tiba.
Pendahuluan
Perdebatkan tentang dampak globalisasi terhadap
perekonomian terutama pada negara-negara yang sedang berkembang merupakan hal
yang tidak pernah berakhir. Secara singkat akan kita kupas
apakah sebenarnya globalisasi itu, bagaimana sejarahnya, siapa saja sebenarnya
yang sangat berperan dan aktif mendorong terjadinya globalisasi, apa saja
sebenarnya baik buruknya bagi kita serta bagaimana pengaruhnya terhadap
perekonomian regional dan lokal.
Apakah globalisasi itu?
Pengertian globalisasi sendiri dapat diinterpretasikan
berbagai macam. Globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses ‘global
network’ dan interaksinya dalam suatu pembangunan ekonomi dan
kebijakan-kebijakan lainnya yang terkait didalamnya (Potter 2001), sedangkan
Burgman (2003) menginterpretasikan globalisasi sebagai suatu yang berhubungan
dengan global neo-libaralisme dan pasar bebas. Sosiolog
lainnya seperti Chang (2003) mendefinisikannya sebagai keterlibatan
‘transnational corporations’ dan saling ketergantungan antar negara dalam
pembangunan ekonomi. Dilain pihak Held dkk (dalam Gray dan Lawrence 2003: 17)
menerjemahkannya sebagai proses pelebaran dan percepatan dari saling
keterkaitan yang membentuk suatu jejaring dunia yang mencakup semua aspek
kehidupan sosial, dari kebudayaan sampai dengan kejahatan, dan dari keuangan
sampai spiritual.
Jadi globalisasi boleh dikatakan sudah masuk ke semua
sendi-sendi kehidupan manusia di seluruh dunia ini yang mencakup aspek
kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama.
Sejarah Globalisasi
Globalisasi muncul sejak tahun 1960 yaitu dengan
ditandainya dengan perubahan ekonomi internasional dari Multinational
Corporations (MNCs) menjadi Transnational Corporations (TNCs) (Hirst
dan Thompson 1997). Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan ini
antara lain adalah berakhirnya perang dunia kedua, meningkatnya migrasi antar
negara, penyebaran tenaga kerja dari satu negara ke negara lain serta saling
ketergantungan perdagangan dari satu negara ke negara lainnya. Dalam
perkembangannya TNCs ini mempunyai peran yang sangat kuat dalam perdagangan
international dan aktifitas ekonomi lainnya. Sebagai contoh TNCs memperkuat Foreign
Direct Investment (FDI) (Chang 2003) serta menciptakan tenaga kerja yang
murah dan ‘a one-world market system’ atau sistem satu pasar global (Gray dan
Lawrence 2003). Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat cepat juga
punya andil yang cukup besar dalam mendorong lahirnya globalisasi yang
mengakibatkan perubahan ekonomi global. Menurut Teeple (2000) teknologi baru
tersebut diciptakan oleh TNCs serta digunakan dalam aktifitas-aktifitas
ekonominya. Dari sinilah awal dimulainya penyebaran neo-liberalisme ke
negara-negara lainnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
penyebaran dan meluasnya globalisasi. Faktor pertama adalah teknologi baru di
bidang informasi teknologi, komunikasi dan transportasi. Era ini dimulai pada
awal 1970-an ketika microelektronik, komputer dan bioteknologi ditemukan oleh
para ahli (Teeple 2000). Sejak saat itu komunikasi antar lintas batas negara
dapat dihubungkan dengan satelit dan kabel-kabel bawah laut yang fungsinya
sebagai jejaring global (Rimmer dalam Rimmer ed. 1997: 96). Faktor kedua adalah
peran pemerintah dalam mendukung kegiatan-kegiatan globalisasi. Baik di
negara-negara maju maupun negara-negara yang sedang berkembang, Pemerintah
mempunyai peran yang cukup penting dalam mendukung aktifitas globalisasi yaitu
melalui perannya dalam pengambilan kebijakan-kebijakan ekonomi dan keuangan.
Faktor lainnya adalah munculnya TNCs serta adanya
dukungan dari World Trade Organization (WTO) dan organisasi dunia
lainnya seperti PBB, Bank Dunia dan IMF. Singh (1999) berpendapat bahwa salah
satu fungsi Bank Dunia dan IMF adalah mendorong negara-negara di dunia untuk
menerapkan deregulasi dan restrukturisasi kebijakan financialnya menjadi
ekonomi liberal.
Apa saja yang dapat berpengaruh terhadap perekonomian
lokal dan regional?
TNCs mempunyai peran yang sangat penting dalam
mempengaruhi perekonomian suatu negara yang berdampak pada perekonomian lokal
maupun regional. Ada beberapa alasan mengapa TNCs dapat berdampak pada
perekonomian lokal dan regional. Pertama adalah TNCs dapat mengintervensi
kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Yang
kedua adalah TNCs lebih kaya dalam hal keuangan daripada yang dipunyai oleh
negara-negara lainnya. Sebagai contoh pada tahun 1989, penjualan the US General
Motor melebihi daripada Gross National Product (GNP) Belgia (Mulhearn
dalam Bretherton dan Ponton ed. 1996: 185).
Faktor lainnya adalah TNCs mempunyai pengaruh yang kuat
untuk menciptakan pasar dunia dengan menggunakan prinsip-prinsip liberal,
seperti pasar bebas dan tenaga kerja yang murah. Disamping itu, dalam
menjalankan bisnisnya TNCs didukung oleh WTO dan IMF dalam hal keuangan,
hukum/peraturan dan hak-hak kepemilikan (O’Loughlin dkk dalam O’Loughlin dkk
ed. 2004:6).
WTO juga mendukung dalam hal penetapan tarif barang dan
jasa dalam kegiatan ekspor impor kepada pemerintah. Produksi dan distribusi
barang ke seluruh penjuru dunia juga dibawah kontrolnya. Sehingga mau tidak mau
pemerintah harus mengikuti regulasi dari WTO ini agar produknya bisa masuk ke
pasaran dunia. Dalam perdagangan dunia, WTO juga membuat beberapa persyaratan
kepada pemerintah, seperti deregulasi di bidang ekonomi yang mendukung
privatisasi, penurunan tarif perdagangan dan pengurangan subsidi (Choo 2000:
31).
Organisasi dunia lain yang membantu pertumbuhan TNCs
adalah Bank Dunia, dan PBB. Dalam hal ini Bank Dunia bersama-sama dengan IMF
bertanggungjawab dalam hal keuangan TNCs sedangkan PBB mempunyai peran dalam
menyediakan dukungan di bidang hukum dan perundangan serta mengendalikan
anggotanya dalam kegiatan globalisasi (Gray dan Lawrence 2003).
Informasi teknologi dan transportasi modern adalah aspek
lain yang dapat mempengaruhi perekonomian lokal dan regional. Hal ini
disebabkan teknologi moderen tersebut dapat menciptakan efisiensi dalam
industrialisasi. Pengelolaan keuangannya akan lebih efektif dan efisien
disamping meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggannya (Pilbeam 2005:
12). Nasabah bank dapat mentranfer dan menarik uangnya melalui internet banking
atau mesin ATM dengan sangat cepat. Masyarakat sekarang dengan mudah dapat
mengelilingi dunia dalam waktu yang sangat singkat melalui penggunaan teknologi
moderen pesawat terbang. Barang-barang juga dengan mudah dikirim baik melalui
udara maupun laut. Sebuah perusahaan juga dapat dengan mudahnya memutuskan
pindah dari satu negara ke negara lain (Vaile 2000), bahkan jasa, modal maupun
paham atau ide atau ilmu pengetahuan dapat dengan mudah melintas batas ke suatu
negara.
Revolusi di bidang teknologi pertanian seperti penemuan
bioteknologi juga dapat merubah aktifitas dan perilaku masyarakat. Bioteknologi
merubah pertanian tradisional menjadi pertanian moderen, pola konsumsi makan
juga berubah, demikian pula dengan kebudayaan.
Apa dampak positif dan negatifnya?
Pertama mari kita lihat dampak negatifnya terhadap perekonomian
lokal dan regional. Dengan adanya globalisasi kegiatan-kegiatan ekonomi
beberapa wilayah khususnya di negara-negara yang sedang berkembang mengalami
penurunan. Banyak industri kecil tidak dapat berkompetisi dengan
perusahaan-perusahaan besar yang tergabung dalam TNCs. Dengan karakteristiknya
seperti penggunaan teknologi tinggi dan modal yang kuat, TNCs dapat membuat
kebangkrutan pada banyak industri-industri lokal maupun regional. TNCs melalui
penggunaan teknologi moderennya seperti komputer dan robot akan menurunkan
kuantitas pekerjanya karena tenaganya dapat digantikan oleh komputer dan robot
(Teeple 2000). Hal ini akan mengakibatkan pengangguran dalam jumlah yang cukup
besar.
Pengaruh peran IMF dan Bank Dunia yang mendukung
perluasan TNCs juga dapat berdampak pada kemiskinan yang menimpa banyak orang.
Sebagai contoh, melalui penawaran restrukturisasi kebijakan ekonominya kepada
pemerintah, seperti penurunan subsidi di sektor pertanian, mengakibatkan banyak
petani-petani tradisional yang kehilangan pekerjaannya karena industrialisasi
telah menggantikannya. Pertanian tradisional tidak dapat berkompetisi dengan
pertanian moderen. Chossudovsky (1997: 101-107) menggunakan Somalia sebagai
contoh. Meskipun secara geografis Somalia tergolong kering namun negara
tersebut dapat menyediakan cukup pangan bagi rakyatnya sampai sekitar tahun
1970-an. Kemudian pada awal tahun 1980, IMF dan Bank Dunia mengintervensi
kebijakan pertanian Somalia yang mengakibatkan timbulnya krisis dibidang ini.
Hal ini membawa Somalia ke dalam krisis hutang yang luar biasa. Produk-produk
pertanian menurun secara dramatis serta digantikan dengan produk-produk impor
dengan harga yang sangat tinggi dari sebelumnya. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan krisis di Somalia. Pertama adalah adanya Bank Dunia yang
mempromosikan privatisasi di sektor pertanian, seperti kesehatan hewan ternak
dan komersialisasi air atau pengairan (Chossudovsky 1997). Hal ini mungkin
menjadi bagian dari agenda Bank Dunia yang mempromosikan TNCs melalui isu ketahanan
pangan dan privatisasi. Friedman (1993) dikutip dalam Gray dan Lawrence (2003:
31-32) berpendapat bahwa privatisasi di industri pertanian berhubungan dengan
tujuan TNCs yang menarik perhatian masyarakat melalui isu-isu kesehatan
makanan.
Hal lainnya adalah IMF dapat mengendalikan pemerintah
untuk membuat deregulasi di kebijakan makro ekonomi, seperti restrukturisasi
belanja pemerintah (Chossudovsky 1997). Intervensi IMF dan Bank Dunia mungkin
tidak hanya dapat menyebabkan dampak negatif pada perekonomian lokal dan
regional Somalia namun juga dapat menyebabkan meluasnya kelaparan dan perubahan
pola kehidupan masyarakatnya dari tradisional menjadi gaya hidup moderen.
Keadaan ini juga terjadi di Zimbabwe dan negara-negara yang sedang berkembang
lainnya. Kejadian serupa juga dialami oleh Indonesia. Indonesia menghadapi
krisis ekonomi diakhir tahun 1997.
Sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan kebijakan
ekonomi liberal (Singh 1999: 86). Kemudian Indonesia melakukan deregulasi
kebijakan ekonomi di akhir tahun 1980 dan awal 1990. Pada tanggal 23 Mei 1995,
Indonesia telah menandatangani perjanjian dengan WTO, AFTA dan APEC tentang
deregulasi ekonomi. Karena perjanjian tersebut, pada tanggal 4 Juni 1996
Indonesia memutuskan untuk melakukan kebijakan deregulasi yang diberi nama
’Paket deregulasi Juni 1996’ (Brown dalam Sheridan ed. 1998: 193). Paket ini
berisi regulasi penurunan tarif, restrukturisasi prosedur ekspor-impor, dan
mendorong kebijakan industrilialisasi pada bidang-bidang tertentu. Dengan
adanya paket deregulasi ini Indonesia memasuki babak baru privatisasi dan
liberalisasi dimana dalam babak ini kewenangan BUMN menjadi berkurang.
Pada awal 1997 ekonomi Indonesia masih tumbuh dengan
baik. Namun pada bulan Juli 1997, Indonesia jatuh ke dalam krisis ekonomi yang
sangat dalam. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis
yaitu: Pertama, pasar uang dunia mengalami fluktuasi yang sangat tinggi dan
mudah dipengaruhi oleh sentimen pasar bebas. (Kindleberger 1989, Radelet dan Sachs
1998 dikutip di Hill 2000: 273). Yang kedua adalah adanya faktor eksternal
khususnya dari ekonomi OECD seperti meningkatnya aliran modal dan bunga yang
rendah yang mendorong pasar modal dunia lebih berfluktuasi sejak tahun 1990
(Hill 2000: 273). Krisis yang dialami Indonesia ini menyebabkan banyaknya
pengangguran, meningkatnya kemiskinan bahkan polemik politik.
Korea adalah contoh lainnya yang mendapat dampak dari
globalisasi. Meskipun secara ekonomi Korea jatuh kedalam krisis pada tahun 1997
s/d 1998, pertumbuhan ekonominya telah meningkat selangkah demi selangkah dan
akhirnya bisa bangkit dari krisis. Menurut Hogan dan Abiko (dalam Scott dan
Wellons ed. 1996: 130) bahwa Korea memulai membuka pasar modalnya pada tahun
1988 dan sejak itu kemudian ekonomi Korea menjadi liberal. Situasi ini
mempengaruhi peningkatan investasi ke Korea. Namun setelah itu Korea mengalami
krisis moneter. Melalui program recoverynya IMF, akhirnya Korea dapat keluar
dari krisis tersebut (Cargill 2005).
Australia sebagai negara yang telah maju juga terkena
dampak negatif dari globalisasi terutama terjadi di wilayah pedesaan. Menurut
Tonts dalam Pritchard dan Mc Manus ed. 2000) hal ini terjadi ketika Australia
tidak dapat menghindari dampak dari perubahan struktur ekonomi dunia dimana
TNCs secara cepat menggantikan peran pemerintah dalam mengkontrol aktifitas
ekonominya. Perubahan ini mendorong pemerintah Australia untuk memulai
restrukturisasi kebijakan makro ekonominya seperti pengurangan intervensi di
bidang ekonomi dan proteksionisme (Walmsley 1993 dikutip dalam Tonts 2000).
Kemudian pemerintah menerapkan 3 (tiga) kebijakan strategis (Tonts dalam
Pritchard dan Mc Manus ed. 2000: 62): Pertama adalah privatisasi pelayanan umum
dan infrastruktur. Kedua adalah Rasionalisasi pelayanan umum dan infrastruktur;
dan yang ketiga adalah pendelegasian tanggung jawab untuk penyediaan jasa
kepada pemerintah daerah (Furuseth, 1998; Tonts dan Jones, 1997).
Strategi-strategi tersebut berdampak pada banyak wilayah
di pedesaan Australia. Sebagai contoh, privatisasi Bank Commonwealth
menyebabkan bank tersebut malakukan pengurangan subsidi pada wilayah-wilayah
pedesaan. Akibatnya para petani kesulitan untuk mendapatkan kredit untuk
kegiatan usaha taninya (Tonts dalam Pritchard dan Mc Manus ed. 2000). Kemudian
Gruen dkk (dalam Mc Leod dan Garnaut ed. 1999: 207) menyatakan bahwa pada tahun
1980, liberalisasi di bidang keuangan menyebabkan kompetisi pada sistem
perbankkan yang menyebabkan penurunan pada sistem tersebut pada akhir tahun
1980 dan awal 1990. Privatisasi di bidang transportasi dan komunikasi juga
menyebabkan masyarakat pedesaan kehilangan kesempatannya untuk berkompetisi
dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Keputusan Western Australian
Rail Services sebuah perusahaan kereta api di Western Australia, untuk
memutus kontrak pemeliharaan dengan masyarakat pedesaan juga menyebabkan banyak
pengangguran di wilayah tersebut karena perusahaan lebih suka untuk bekerjasama
dengan perusahaan-perusahaan besar dari Perth daripada dengan masyarakat setempat.
Namun demikian, globalisasi juga menyebabkan keuntungan
dan manfaat bagi perekonomian lokal dan regional serta membawa kesejahteraan
bagi masyarakat. Sebagai contoh, dengan penerapan privatisasi dan liberalisasi,
produk-produk pertanian Australia menghasilkan 3% dari total ekspor pertanian
dunia (The Commonwealth of Australia 2003 dikutip dalam Core 2005: 3). Dalam
bisnis telekomunikasi, Telstra sebuah perusahaan telekomunikasi Australia, juga
menciptakan pasar yang kompetitif (Stoler 2005). Kondisi ini sangat
menguntungkan bagi industri dan masyarakat karena harga yang kompetitif
tersebut.
Bagaimana dengan Cina? Meskipun reformasi ekonomi yang
dilakukan oleh Cina menyebabkan kesenjangan pendapatan pada ekonomi
regionalnya, reformasi ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Menurut
Zhou (dalam Benewick dan Wingrove ed. 1995: 145), Cina mereformasi ekonominya
khususnya di bidang pertanian, kemudian industri dan akhirnya pada seluruh
sektor ekonominya pada akhir tahun 1970. Kemudian pada bulan Maret 1989,
pemerintah Cina memperkenalkan ‘resolusi terhadap kebijakan industri’.
Kebijakan ini sangat penting untuk pembangunan ekonomi karena mengatur
kebijakan-kebijakan di sektor industri, seperti industri berteknologi moderen,
bioteknologi, komunikasi dan transportasi. Hal ini menyebabkan ekonomi Cina
telah menjadi global dan lebih terbuka terhadap dunia. Reformasi ini juga dapat
meningkatkan Gross National Product (GNP) Cina sebesar 9% per tahun
antara tahun 1979 dan 1992. Menurut Yang (1995), agenda ekonomi di
Cina dapat merubah agenda perekonomian pada tingkat lokal dan pemerintah pusat.
Pemerintah lebih mempunyai kemauan untuk bekerjasama dengan
perusahaan-perusahaan swasta dalam mendorong aktifitas pasar daripada
sebelumnya. Perubahan ini juga menciptakan pembangunan perekonomian yang lebih
baik tidak hanya untuk sektor swasta saja namun juga untuk wilayah pedesaan
termasuk masyarakatnya. Oleh sebab itu the OECD (2005) menyebutkan bahwa
ekonomi Cina cenderung stabil sekitar 9,5% dalam dua dekade terakhir ini.
Pertumbuhan ini menyumbangkan penurunan tingkat kemiskinan dan meningkatkan
pendapatan. Keterbukaan ekonomi Cina telah menjadikannya sebagai bagian dari
perekonomian dunia. Situasi ini terjadi karena peran penting reformasi
ekonomi di Cina. Sektor swasta dapat dengan bebas menanamkan modalnya di
banyak sektor industri.
Kesimpulan
Banyak para ahli berpendapat bahwa pertumbuhan
globalisasi termasuk TNCs telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan
kebanyakan dari negara-negara di dunia tidak dapat menghindarinya khususnya
untuk negara-negara yang sedang berkembang tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menerimanya (Chang 2003: 269). Dalam hal ini, organisasi-organisasi dunia
seperti WTO, Bank Dunia dan IMF mempunyai peran yang penting dalam mendukung pertumbuhan
globalisasi. Disamping itu, kebanyakan negara-negara mempunyai pola yang sama
dalam proses globalisasi. Pertama, banyak negara yang memulainya
dengan mereformasi ekonominya sebagai proses global pada tahun 1970. Setelah
itu, pada tahun 1980 s/d 1990 pertumbuhan ekonominya menjadi sangat cepat dan
baik. Selanjutnya pada tahun 1997 negara-negara tersebut mengalami krisis
ekonomi. Beberapa negara seperti Indonesia dan Somalia yang tidak siap
khususnya pada sumberdaya manusia (SDM)-nya untuk menerima globalisasi, telah
jatuh kedalam krisis yang dalam dan berkepanjangan. Yang lainnya seperti Cina
dan Korea meskipun mendapatkan dampak negatif di tengah perombakan ekonominya,
akhirnya mereka dapat melewatinya dan tumbuh menjadi negara yang kuat perekonomiannya.
Penutup
Banyak pelajaran yang kita dapatkan apabila kita
mempelajari globalisasi lebih mendalam. Salah satunya adalah kita akan lebih mengerti
tentang perkembangan ekonomi, sosial dan politik dunia. Kita juga akan lebih
paham mengapa Indonesia dapat jatuh ke dalam krisis dan terjerat hutang yang
sangat besar sehingga sampai sekarang pengangguran dan krisis-krisis yang
lainnya masih kita rasakan. Dengan memetik pelajaran tersebut kedepannya kita
akan lebih mudah mengantisipasinya sehingga Indonesia tidak akan mengalami
krisis yang sama. Sebenarnya yang kita perlukan dalam menghadapi globalisasi
adalah kesiapan kualitas sumberdaya manusianya. Kita memerlukan kualitas SDM
yang sangat tinggi baik dari kecerdasan intelektualnya (IQ), emosinya (EQ)
maupun spiritualnya (SQ) sehingga kita dapat bersaing di arena global ini.
Sumber :
Dari Berbagai Kepustakaan
No comments:
Post a Comment