Saturday, July 28, 2012

Artikel Ekonomi : Subprime Mortgage


Artikel Ekonomi. Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai krisis finansial pada tahun 2008 yang awalnya disebabkan oleh  Subprime Mortgage di Amerika Serikat lalu menyebar ke Eropa dan beberapa negara yang memiliki hubungan perdagangan, finansial, dan investasi dengan Negara Paman Sam ini.

 Pendahuluan

Krisis finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia
secara drastis pada tahun 2008 dan diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan
akan meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi
dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia.

Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi. Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.

Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia meskipun telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif pelemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran, neraca sektor riil dan APBN.



Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian
global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat.

Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang-utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.

Berbagai kondisi tersebut di atas diperkirakan akan berpengaruh signifikan terhadap
perlambatan pertumbuhan ekonomi, penyediaan kesempatan kerja, dan upaya pengurangan kemiskinan. Kecenderungan penurunan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 4,0 – 5,0 persen dengan titik estimasi paling optimis pada 4,7 persen (lebih rendah dari titik estimasi awal sebesar 5,0 persen) terutama disebabkan (1) perlambatan investasi yang diperkirakan mencapai 5,9 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 7,5 persen, antara lain berasal dari penanaman modal asing (PMA) dan investasi portofolio; dan (2) kinerja ekspor yang melambat dari perkiraan sebelumnya 7,8 persen menjadi paling tinggi 5,1 persen .

Data tiga bulan terakhir menunjukkan ekspor melemah sangat cepat hingga pertumbuhan diperkirakan akan stagnan (nol persen) atau bahkan negatif (-3,0 persen). Penurunan ekspor tersebut juga akan diikuti oleh penurunan produksi, sehingga pada akhirnya rasionalisasi tenaga kerja sulit dihindari.

Dengan berbagai perkembangan tersebut, peningkatan pengangguran tenaga kerja dan jumlah masyarakat miskin merupakan dampak berikutnya yang akan segera dialami oleh perekonomian nasional akibat krisis perekonomian global. Saat ini, fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) telah terjadi pada industri-industri yang berorientasi ekspor, menyusul kemudian rencana PHK pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan kertas, dan rencana merumahkan tenaga kerja pada industri perkayuan dan industry perkebunan.
Selain itu, resesi global juga akan mengakibatkan PHK atas sebagian dari tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, dan pemulangan mereka ke Indonesia. Hal ini tidak saja akan menambah berat tekanan pada pasar tenaga kerja di Indonesia, tetapi juga akan mengurangi pendapatan devisa dari penghasilan mereka di luar negeri (remittances).

Definisi Subprime Mortgage

Sub prime mortgage adalah kredit perumahan yang diberikan oleh perusahaan mortgage broker di Amerika Serikat dengan bunga yang rendah di awal tahunnya (2-5 tahun), namun di tahun berikutnya, bisa naik sampai 1 1/2 kali lipat. Dan apabila terjadi macet, kredit ini akan dijual kepada bank, dan bank yang akan menyelesaikan kredit macet tersebut.

Karena Bank Sentral Amerika yang sering disebut The Fed, menaikkan suku bunga berkali-kali, hingga mencapai 5,25%, akhirnya kredit di sektor perumahan dari sub prime mortgage ini akhirnya mengalami yang kemacetan di luar kebiasaan, dan pada saat yang sama bank membutuhkan likuiditas yang cukup banyak untuk menutupi dan menyelesaikan kredit tersebut.

Dan di sisi lain investor di sektor ini banyak yang menarik dana untuk mendapatkan likuiditas, dalam bentuk dollar Amerika di berbagai portofolio-nya, termasuk di Indonesia, baik dalam bentuk saham, maupun mata uang. Hal inilah yang akhirnya ikut menyeret pasar modal dan pasar uang Indonesia mengalami kesulitan likuiditas.

Terdapat kecenderungan bahwa orang Amerika lebih senang mengambil kredit rumah dengan menggunakan sub prime mortgage, karena mereka merasa bunganya lebih kecil. Walaupun efek yang dirasakan kemudian akan terus berlipat karena terus mengalami sub prime yang ketika diakumulasikan akan mengelabui sistem keuangan Amerika Serikat yang nota bene dampaknya akan berpengaruh terhadap keuangan dunia.



DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN      PENDAPATAN NEGARA TAHUN 2009

Situasi perekonomian sejak pertengahan 2007 diwarnai oleh berbagai faktor eksternal yang penuh ketidakpastian (uncertainty) dan sulit diprediksikan (unpredictable). Kehancuran pasar uang global telah berdampak pada sektor riil dimana banyak industry besar terancam bangkrut atau setidak-tidaknya terjadi penurunan kapasitas produksi.

Akibatnya, ancaman akan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia akan sulit
dihindari. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian dan memicu terjadinya krisis ekonomi. Banyak
negara yang terpaksa harus meminta bantuan lembaga keuangan internasional untuk menyediakan likuiditas guna menyelamatkan ekonominya dari kehancuran, seperti Turki, Pakistan, Islandia, dan negara-negara Eropa Timur lainnya.

Krisis finansial global yang terus berlangsung saat ini menyebabkan macetnya sistem keuangan dunia sehingga menyebabkan merosotnya aktivitas ekonomi dan perdagangan dunia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan menurunnya pertumbuhan volume perdagangan dunia telah terjadi sejak pertengahan tahun 2007.

Volume perdagangan dunia dalam tahun 2009 terus merosot ditunjukkan dengan proyeksi IMF yang mengalami beberapa kali revisi volume perdagangan dunia pada tahun 2009 dari 6,9 persen yaitu proyeksi yang dibuat pada bulan Januari 2008 menjadi 2,1 persen pada bulan November 2008 dan bahkan pada bulan Januari 2009 proyeksi pertumbuhan volume perdagangan dunia direvisi kembali menjadi negatif 2,8 persen.

Hal ini tentunya akan memberikan dampak langsung yang signifikan bagi negara-negara yang perekonomiannya ditopang oleh ekspor seperti Cina, Jepang, Korea, dan Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Melihat perkembangan yang makin memburuk pada tirwulan terakhir ini, seluruh lembaga keuangan dan ekonomi dunia seperti IMF, OECD, Bank Dunia dan ADB melakukan revisi ke bawah tingkat pertumbuhan perekonomian dunia.

IMF misalnya, menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2009 diperkirakan masih tertekan sehingga perkiraannya direvisi menjadi 2,2 persen pada bulan November 2008, dari sebelumnya 3,0 persen pada bulan Oktober 2008.Namun pada Januari 2009, IMF kembali melakukan revisi ke bawah atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 0,5 persen.

Merosotnya perekonomian dunia ini tentunya akan sangat berpengaruh pada perkembangan perekonomian Indonesia. Antisipasi yang dilakukan oleh Pemerintah
dalam menyikapi kondisi ini adalah melakukan beberapa penyesuaian besaran asumsi makro. 

No comments:

Post a Comment