Artikel Ekonomi. Maraknya kasus
Money Laundering di Indonesia yang dilakukan oleh aparat maupun penjabat publik menjadi suatu modus yang efektif untuk mengelabui tindak pidana korupsi yang dilakukan. Berikut ini akan kita bahas secara lengkap mulai dari pengertian, reguasi, modus, dampak, hingga contoh kasus yang terjadi.
Pendahuluan
Masalah money laundering belakangan ini makin mendapatkan perhatian khusus
dari dunia internasional. Perhatian demikian dipicu dengan semakin maraknya
tindak kejahatan ini dari waktu ke waktu, sementara kebanyakan negara belum
menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan
yang harus diberantas. Mantan Direktur International
Monetary Fund (IMF), Michel Camdessus pernah mengungkapkan bahwa
diperkirakan volume dari money laundering
adalah antara 2 hingga 5 persen GDP dunia.
Money
laundering sebagai salah
satu jenis kejahatan kerah putih (white
collar crime) sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu,
seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak
kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp
5.671.250.000,-). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya
dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana
ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang
milik perompak lain di darat.
Namun
istilah money laundering baru muncul
ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun
1920-an, memulai bisnis Laundromats
(tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang
mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil
pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat
sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum
dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah
melakukan penggelapan pajak.
Selain
Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari
kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis
hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis ilegal
ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan
kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk
mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk
membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru
terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak dan tindak pidana termasuk
tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya.
Pengertian Money Laundering
Dalam Undang-Undang Pencucian Uang (UUPU) Tahun 2002, istilah
money laundering disebut dengan
pencucian uang. Kata money dalam
istilah tersebut dapat diistilahkan sebagai dirty
money, hot money, illegal money, atau
illicit money. Prof. Remy Sjahdeini, pakar perbankan mengatakan bahwa tidak
ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai money laundering, karena berbagai pihak seperti institusi-institusi
investigasi, kalangan pengusaha, negara-negara dan organisasi-organisasi lainnya memiliki definisi sendiri untuk
itu (Sjahdeini, 1999).
Basle Committee, pada Tahun 1988
mengeluarkan suatu penyataan:
“criminal and their associates use the financial system to make payment
and transfers of funds from one account to another, to hide the source and
beneficial ownership of money and to provide storage for bank-notes through a
safe-deposit facility. This activities are commonly referred to as money
laundering (IMF, 1994).
Menurut Neil Jensen, money
laundering diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari
kegiatan-kegiatan yang melawan hukum menjadi aset keuangan dan terlihat seolah-
olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal (Neil Jensen et al.,
1995).
Sarah N. Welling dalam Brent Fisse,
David Eraser & Graeme Coss mengemukakan bahwa money laundering adalah:
“the process by which one conceals the existence, illegal source, or
illegal application of income, and then disguises that income to make it appear
legitimate” (Brent Fisse et al., 1992).
Pada
dasarnya juga dikemukakan dalam buku “White
Collar Crime Cases and Materials”, bahwa “money laundering is the concealment of existence, nature or illegal
source or illicit funds in such a manner that the funds, will appear legitimate
if discovered” (Pamela H. Bucy, 1992).
Sementara
itu, kementrian Kehakiman Kanada merumuskan money
laundering dengan mengatakan sebagai the
conversion or transfer of property, knowing that such property is derived from
criminal activity, for the purpose of concealing the illicit nature and origin
of property from government authorities (Sjahdeini, Op. cit).
Prof.
M. Giovanoli dari Bank for International Settlement membuat pengertian berupa:
suatu proses dimana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari
suatu tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset-aset
tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah (Jurnal Hukum Bisnis, Vol.3,
1998). Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa money laundering adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu
perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana atau modal
yang sah.
Regulasi
Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian
uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak
kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Bahkan praktek
money laundering tidak lagi
sesederhana yang dilakukan Al Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah
pengakuan dari seorang mafia obat bius, Franklin Jurador yang menceritakan
pemindahtanganan uang hasil kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai
transaksi antara lain jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk
keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara
domestik namun juga antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit. Bahkan
berkembangnya transaksi money laundering
juga didukung fasilitas finansial dunia perbankan, seperti layanan nomor
rekening istimewa atau nostro account yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun
1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan
untuk transaksi sehingga bank tidak mengetahui
siapa nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksi.
Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga
menyediakan fasilitas transfer uang antar negara, manajemen pengelolaan dana
dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan pencucian uang. Perkembangan
kejahatan kerah putih ini menimbulkan kekhawatiran internasional sebab
dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian karena perputaran dana
dalam jumlah besar yang terjadi secara cepat dari satu tempat ke tempat lain
bahkan dari satu atau lebih negara ke satu atau lebih negara lain. Untuk itu
maka masalah money laundering mulai menjadi perhatian dan dibentuk beberapa
peraturan perundang-undangan baik yang bersifat internasional maupun nasional :
a. Amerika Serikat :
Memiliki
berbagai macam peraturan perundang-undangan seperti The Bank Secrecy Act (1970), Money
Laundering Central Act (1986), The
Annunzio Wylie Act dan Money
Laundering Suppression Act (1994).
Dalam Bank Secrecy Act,
terdapat kewajiban lembaga keuangan untuk melaporkan setiap transaksi alat
pembayaran yang melebihi $10,000 kepada Internal
Revenue Service yang dikenal dengan
nama Currency
Transaction Report (CTR). Termasuk juga di dalamnya Foreign
Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah informasi keuangan yang
harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan dengan
tindakan pidana, perpajakan dan penuntutan.
Setelahnya dalam Money
Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang harus dipenuhi untuk
mengkategorikan tindak pidana pencucian uang yakni :
(1) terdapat transaksi finansial atau perpindahan
internasional; dan
(2)
terdapat kegiatan melanggar hukum tertentu.
b. Swiss, Thailand,
Spanyol, Italia, Inggris, Jerman dan Perancis
Swiss memiliki The
Money Laundering Act (1998), Thailand
memiliki The Money Laundering Prevention
and Suppresion Act (1999), Spanyol
memiliki The Money Laundering Law
(1993). Sementara untuk negara Italia, Inggris, Jerman dan Perancis memiliki Penal Code yang mengatur ketentuan anti money laundering.
c. Indonesia
Pada
tahun 1988, United Nations Convention
Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau
lebih dikenal UN Drugs Convention
ditandatangani 106 negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang
kemudian baru meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika.
Selanjutnya
pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7
melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang
bertujuan mendorong negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan
untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank
maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas
pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan
rekomendasi yang paralel dengan UN Drug
Convention agar negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan
mengawasi money laundering.
Upaya
pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan
pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap
kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam
pembentukan konvensi The International
Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan negara-negara penandatangan menjadikan pencucian
uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat.
Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan
Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Bank Sentral
dan badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil
langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang
dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/21/PBI/2003.
Walaupun secara de jure, BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001
tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah, namun
peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya
kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang
sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas
permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat
secara tertulis, atau dalam hal si
nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai
simpanan nasabah yang bersangkutan.
Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank
Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian
uang. FATF sendiri sudah
mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang.
Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan
sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat
kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar
internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu
dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian
uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian
uang.
Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara
wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative
Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan
Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam
memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan
hukum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku
kejahatan money laundering, belum
adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek money
laundering, belum adanya sistem yang
mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja
sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum
adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi
praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang
Anti Pencucian Uang.
Dampak Money
Laundering
1. Dampak
ekonomi mikro
a. Cara
perolehan uang yang ilegal mengganggu jalannya mekanisme pasar. Esensi sistem
pasar adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan pribadi atas
faktor-faktor produksi maupun atas barang-barang serta jasa-jasa yang digunakan
untuk keperluan konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang
ilegal telah menunjukkan tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak
milik, pasar menjadi tidak efisien yang ditunjukkan dengan meningkatnya biaya
transaksi pasar, adanya akses yang asimetris pada informasi pasar yang
menyebabkan transaksi bersifat zero sum
game dalam arti bahwa keuntungan suatu pihak dapat membawa kerugian bagi
pihak lain.
b. Transaksi
keuangan untuk melegalkan hasil perolehan uang yang ilegal membawa dampak
penurunan produktifitas masyarakat.
2. Dampak
ekonomi makro
a. Tindak
pidana pencucian uang menghindarkan kewajiban pembayaran pajak yang berarti
mengurangi penerimaan negara.
b. Apabila
transaksi keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang ilegal ke
luar negeri, maka akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri. selain
itu juga mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan
bank melakukan ekspansi kredit.
c. Apabila
negara memperoleh sejumlah uang ilegal dari luar negeri maka akan menambah
kegoncangan stabilitas ekonomi makro. Terlebih untuk negara yang tidak memiliki
cukup banyak instrumen moneter sehingga tidak mampu mensterilisasi dampak
moneter pemasukan modal. Jika bank sentral membeli devisa yang masuk itu sebagai
upaya untuk mempertahankan nilai tukar luar negeri mata uang nasionalnya,
jumlah uang beredar akan bertambah dengan cepat dan tambahan jumlah uang
beredar itu akan menyulut inflasi sehingga menimbulkan gangguan pada
keseimbangan internal perekonomian. Akan tetapi, jika bank sentral tidak
membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang nasional yang
menyebabkan berkurangnya insentif kegiatan ekspor. Pengurangan ini akan
menambah defisit neraca pembayaran luar negeri.
Tahapan Pencucian Uang
a. Tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang
hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman
guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya
sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan
ditempatkan pada beberapa rekening di beberapa tempat;
b. Tahap
pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal
muasal uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan
tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan
tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana kerahasiaan bank akan
menyulitkan pelacakan jejak uang.
Tindakan ini dapat berupa transfer ke negara lain dalam bentuk mata uang asing,
pembelian property, pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit yang
ada di Bank A untuk meminjam uang di Bank B dan sebagainya.
c. Tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan
kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu
proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar
telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul
kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal.
Modus Pencucian Uang
Dalam perbuatan tindak pidana pencucian
uang terdapat kategori beberapa modus yang didasarkan pada tipologinya:
a. Tipologi
dasar:
1). Modus orang
ketiga, yaitu dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan perbuatan
tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencurian uang, dengan menggunakan atau
mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang berlainan. Ciri-cirinya
adalah: orang ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya nama palsu dalam
dokumen, orang ketiga biasanya menyadari ia dipergunakan, orang ketiga tersebut
merupakan orang kepercayaan yang bisa dikendalikan, dan hubungannya dengan
pelaku sangat dekat sehingga dapat berkomunikasi setiap saat.
2). Modus
topeng usaha sederhana, merupakan kelanjutan modus orang ketiga, dimana
orang tersebut akan diperintahkan untuk mendirikan suatu bidang usaha dengan
menggunakan kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana.
3). Modus
perbankan sederhana, dapat merupakan kelanjutan modus pertama dan kedua,
namun juga dapat berdiri sendiri. Disini terjadi perpindahan sistem transaksi
tunai yang berubah dalam bentuk cek kontan, cek perjalanan, atau bentuk lain
dalam deposito, tabungan yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi
dalam pembelian aset-aset. Modus ini banyak meninggalkan jejak melalui dokumen
rekening koran, cek, dan data-data lain yang mengarah pada nasabah itu, serta
keluar masuknya dari proses transaksi baik yang menuju pada seseorang maupun
pada aset-aset, atau pun pada pembayaran-pembayaran lain.
4). Modus
kombinasi perbankan atau usaha, yang dilakukan oleh orang ketiga yang
menguasai suatu usaha dengan memasukkan uang hasil kejahatan ke bank untuk
kemudian ditukar dengan cek yang kemudian digunakan untuk pembelian aset atau
pendirian usaha-usaha lain.
b. Tipologi
ekonomi:
1). Model smurfing,
yakni pelaku menggunakan rekan-rekannya yang banyak untuk memecah sejumlah
besar uang tunai dalam jumlah-jumlah kecil dibawah batas uang tunai sehingga
bank tidak mencurigai kegiatan tersebut untuk kemudian uang tunai tersebut
ditukarkan di bank dengan cek wisata atau cek kontan. Bentuk lain adalah dengan
memasukkan dalam rekening para smurfing
di satu tempat pada suatu bank kemudian mengambil pada bank yang sama di
kota yang berbeda atau disetorkan pada rekening-rekening pelaku pencucian uang
di kota lain sehingga terkumpul dalam beberapa rekening pelaku pencucian uang.
Rekening ini tidak langsung atas nama pelaku namun bisa menunjuk pada suatu
perusahaan lain atau rekening lain yang disamarkan nama pemiliknya.
2). Model perusahaan rangka, disebut
demikian karena perusahaan ini sebenarnya tidak menjalankan kegiatan usaha
apapun, melainkan dibentuk agar rekening perusahaannya dapat digunakan untuk
memindahkan sesuatu atau uang. Perusahaan rangka dapat digunakan untuk
penempatan (placement) dana sementara sebelum dipindah atau digunakan lagi. Perusahaan rangka dapat
terhubung satu dengan yang lain misal saham PT A dimiliki oleh PT B yang berada
di daerah atau Negara lain, sementara saham PT B sebagian dimiliki oleh PT A,
PT B, PT C, dan/atau PT D yang berada di daerah atau Negara lain
3). Modus pinjaman kembali, adalah suatu
variasi dari kombinasi modus perbankan dan modus usaha. Contohnya : pelaku
pencucian uang menyerahkan uang hasil tindak pidana kepada A (orang ketiga),
dan A memasukkan sebagian dana tersebut ke bank B dan sebagian dana juga
didepositokan ke bank C. Selain itu A meminjam uang ke bank D. Dengan bunga
deposito bank C, A kemudian membayar bunga dan pokok pinjamannya dari bank D.
Dari segi jumlah memang terdapat kerugian karena harus membayar bunga pinjaman
namun uang illegal tersebut telah berubah menjadi uang pinjaman yang bersih
dengan dokumen yang lengkap.
4). Modus menyerupai MLM.
5). Modus under
invoicing, yaitu modus untuk memasukkan uang hasil tindak pidana dalam
pembelian suatu barang yang nilai jual barang tersebut sebenarnya lebih besar
daripada yang dicantumkan dalam faktur.
6). Modus
over invoicing, merupakan kebalikan dari modus under
invoicing.
7). Modus over
invoicing II, dimana sebenarnya tidak ada barang yang diperjualbelikan,
yang ada hanya faktur-faktur yang dijadikan bukti pembelian (penjualan fiktif)
sebab penjual dan pembeli sebenarnya adalah pelaku pencucian uang.
8). Modus pembelian kembali, dimana pelaku menggunakan dana yang telah dicuci
untuk membeli sesuatu yang telah dia miliki.
c. Tipologi
Information Technology (IT):
1). Modus E-Bisnis, hampir sama dengan
modus menyerupai MLM, namun menggunakan sarana internet.
2). Modus scanner
merupakan tindak pidana pencucian uang
dengan predicate crime berupa penipuan dan pemalsuan atas
dokumen-dokumen transaksi keuangan.
d. Tipologi hitek:
Suatu bentuk kejahatan terorganisir secara
skema namun orang-orang kunci tidak saling mengenal, nilai uang relatif tidak
besar tetapi bila dikumpulkan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Dikenal
dengan nama modus cleaning dimana
kejahatan ini biasanya dilakukan dengan menembus sistem database suatu bank.
Beberapa Kasus
Money Laundering Di Indonesia
Transaksi di Luar Profile Nasabah
AB seorang pegawai disalah satu instansi
pemerintah, pada bulan April 2007, melakukan penyetoran dana ke rekeningnya di
Bank Z dalam bentuk valuta asing senilai USD 500.000 (Rp 4,5 M). Dana
tersebut selanjutnya dipindahkan ke beberapa rekening milik istri, teman kerja
dan seorang wanita berprofesi pemandu lagu. Transaksi setoran valas tersebut
dinilai tidak wajar dan tidak sesuai dengan profil AB selaku pegawai disalah
satu instansi pemerintah. Bank Z melaporkan transaski tersebut kepada otoritas
berwenang.
Berdasarkan
analisis otoritas berwenang diindikasikan adanya unsur tindak pidana sehingga
diteruskan kepada pihak penyidik untuk proses investigasi lebih lanjut. Sesuai
hasil penyidikan diketahui bahwa dana yang disetorkan oleh AB ke rekeningnya di
Bank Z berasal dari pemberian (gratifikasi) PT X karena AB telah membantu
melakukan mark down (mengurangi) penerimaan pajak dari setoran PT X ke negara
senilai Rp 70 M pada tahun 2007. Kasus ini telah dilimpahkan ke pengadilan dan
Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis 8 (delapan) tahun penjara terhadap AB
karena terbukti telah melakukan TPPU dari hasil gratifikasi.
7.2. Penyuapan
kepada pejabat melalui perusahaan pembiayaan
Mr. A seorang karyawan swasta mengajukan permohonan
pembiayan leasing atas 1 (satu) unit mobil mewah senilai Rp 450 juta kepada
perusahaan leasing (PT Z). Setelah disetujui, Mr. A menandatangani kontrak
leasing yg diikuti dengan penerimaan sebuah unit mobil dari PT Z. Selanjutnya,
cicilan selalu dibayarkan oleh Mr. A kepada PT Z. Pada kenyataannya,
surat-surat kepemilikan mobil tersebut bukan atas nama Mr. A melainkan atas
nama Mr. B. Dengan kata lain, penguasaan kepemilikan mobil mewah tersebut
berada dibawah kendali Mr. B yang diidentifikasi sebagai seorang pejabat di
instansi pemerintah. Dari hasil peggalian informasi oleh perusahaan leasing
diketahui bahwa perusahaan Mr. A adalah pemenang tender dalam proses lelang
proyek pengadaan barang dan jasa di kantor Mr. B. Berdasarkan hal tersebut,
perusahaan leasing menyampaikan LTKM kepada PPATK.